Dodolnya Anak Aksel (Cerita 8 : Menjadi Anak Band)
Seni, itu adalah satu kata yang mempunyai banyak arti, seni adalah sesuatu yang indah, seni adalah karya yang sangat rumit, seni adalah karya seseorang yang mempunyai arti mendalam, seni adalah air yang dikeluarkan sebagai sisa-sisa pembakaran dalam tubuh. Menurut pengamatanku, umunya seniman itu bergaya lebih berantakan daripada diriku, seakan-akan mereka mempunyai moto “asal bau yang penting berkarya”.
Seni juga banyak bentuknya (air seni tak termasuk), mulai dari yang berbentuk sampai yang tak berbentuk seperti lagu atau musik. Tapi dari sekian banyak seni, seni menggambar lukisan adalah yang paling tak kumengerti, apalagi yang bergenre abstrak. Lukisan cuma coret-coret gak jelas bisa dihargai lebih tinggi dari harga diriku. Padahal lukisan itu kelihatan kayak kanvas yang gak sengaja kejatuhan cat warna warni. Menurutku malah gambar gunung adikku yang masih TK masih lebih bagus.
Aku memang sama sekali tak punya rasa seni. Aku pernah coba gambar lukisan abstrak yang kayak buatan Da Vinci gitu, hasilnya sangat mengenaskan, kuberi judul “benang kusut”. Sepupuku yang jago gambar pernah mengajariku cara menggambar yang sesuai dengan TKMYB (Tata Krama Menggambar Yang Baik), tapi tetep aja hasilnya benang kusut.
Karena itulah nilai kesenianku selalu anjlok. Pelajaran kesenian selalu menjadi menyebalkan karena hasil karyaku selalu cocok di tempat sampah. Waktu SMP, ujian praktek kesenian adalah main rekorder (seruling). Temanku yang aju kebanyakan berhasil. Giliranku sekarang, bunyi rekorder nya sangat tak enak di telinga, mengingatkanku akan bunyi kentutku kemarin malam. Sadisnya guruku malah ketawa di depan waktu aku salah bunyiin nada.
Itu main alat musik, apalagi nyanyi. Amit amit jabang beibi aku disuruh nyanyi kedepan. Aku lebih memilih kerjain makalah daripada maju ke depan. Waktu ujian praktek akhir, semua anak tanpa kecuali harus nyanyi ke depan. Aku betul-betul gugup ketika giliranku tiba. Menurut ibuku, supaya gak gugup anggap aja orang yang memperhatikan itu batu. Aku pun mengikuti sarannya dan bernyanyi dengan suara yang dapat membuat seseorang menyesal lahir ke dunia. Didalam bayanganku pun, batu-batu didepanku meledak semua.
Belajar dari pengalaman, saat SMA kau gak mau masuk ke ekskul yang ada keseniannya. Kalau pelajaran kesenian ada tugas biasanya aku minta ibuku yang kerjain dengan imbalan aku yang cuci piring.
Pada suatu hari bu Rima, guru kesenian kami, membagi kami kedalam kelompok yang bertugas membentuk sebuah Band. Kelompokku ada sekitar 8 orang, jelas kami bingung gimana cara pembagian tugasnya. Karena aku gak bisa apa-apa, aku akan jadi penari telanjang aja disebelah vokalis. Semua menolak karena merasa tubuhku tak pantas jadi tontonan. Alhasil, aku jadi keyboardis, itupun waktu kami main suara keyboardnya kukecilin terus aku pencet asal-asal.
Nah, beberapa temanku ternyata membentuk Band betulan setelah tugas itu, dan aku pun diajak. Karena aku mahir keyboard (baca: tau letak doremifasolasido), aku resmi bergabung dengan band mereka sebagai keyboardist dan backing vocal. Tapi entah sejak kapan aku akhirnya jadi vokalis utama. Karena main sama teman-temanku, jadi aku pede aja nyanyi dengan suara alienku itu.
Setelah agak lama sering latian, kami pun mulai memikirkan nama Band. Beberapa nama disiapkan seperti Jam Band (Jamban), Tambal Band (Tambal Ban), Blue Band (ini lebih gak jelas, nama mentega) sampai nama yang dibaca dengan aksen prancis, Bac~sow~dwa Band (dibaca: Bakso Dua Bang!).
Kami mau buat nama Band yang aneh dan panjang, karena kami semua adalah penggemar band barat. Awalnya kami memakai nama Lost Childern In Out Spaces (Anak yang tersesat di luar angkasa), tapi setelah dipikir, kasian banget tuh anak, jadi kami ganti lagi. Sempat ganti-ganti mulai Eve sampai Stensil, akhirnya kami resmi memakai nama No One Ever Does. Keren banget ya.
Setelah punya nama, kami jadi sering latihan. Banyak lagu yang kami coba mainkan, rata-rata lagu band luar. Pernah kami lagi asik-asiknya main lagu On Top Of The World punya Boys Like Girls yang nge-rock banget, tiba-tiba sifat Indo punya gitaris kami kumat sehingga kelanjutannya kami malah main Cari Pacar Lagi-nya ST 12. Gak nyambung banget ya. Ngomong-ngomong kalau dari luar studio, musik kami kedengaran kayak segerombolan pemuda yang teriak-teriak mau menduduki kantor gubernur.
Pada suatu hari Al-Azhar mengadakan Pensi (Pentas Siswa) yang membuka pendaftaran untuk Band-band yang mau manggung. Kami jelas tak mau melewatkan itu. Dengan pede kami mendaftar langsung. Tapi efeknya baru terasa malam sebelum hari manggung. Aku tegang banget, sampai ngupil yang biasanya bisa berjam-jam kini hanya setengah jam. Aku gak berani dengerin lagu yang akan kami bawa nanti. Gimana nanti kalau terjadi kematian massal saat aku nyanyi? Gimana kalau aku dilemparin batu bata? Gimana kalau Shireen Sungkar betul-betul jadian ama Adly Fairuz? Pikiran-pikiran negatif menghantuiku malam itu.
Akhirnya hari itu tiba. Kami dapat giliran agak terakhir, jadi sambil nunggu kami nonton Band lain. Perasaan tegang itu makin menjadi-jadi waktu ngeliat banyaknya orang yang nonton. Ya Allah, jika suaraku nanti menyebabkan cacat permanen pada yang mendengar, tolong ampuni aku dan tetap jodohkan aku dengan Shireen Sungkar, begitu doaku dalam hati.
Akhirnya giliran kami tiba. MC cewek yang kelewat semangat mengumumkannya, “kini kita sambut, No One Ever Dies”. Ampun nih MC dodol, bisa-bisanya salah nyebutin nama Band kami. No One Ever Does yang artinya “tak ada yang pernah lalukan” menjadi No One Ever Dies yang berarti “tak ada yang pernah mati”. Jauh banget!
Diatas panggung aku udah kayak anak idiot. Setiap band sebenarnya dikasih main 2 lagu, tapi karena menurut pertimbangan kami hanya betul-betul lancer main satu lagu, kami pun hanya memainkan satu lagu. Beginilah kata pembuka dari Tommy, gitaris dan Backing Vokal kami: “Kami hanya akan main satu lagu karena setelah ini kami akan manggung di sunatan pak RW”. Dodol ya, itu betulan terjadi lho!
Kami memainkan lagu dari My Chemical Romance berjudul “I’m Not Okay”. Aku, karena baru pertama ini manggung, jadi kaku banget. Biasanya vokalis band rock kan joget-joget gak jelas di atas panggung, kalau aku kayak patung yang megang mik. Gitaris pun sempat miss beberapa nada. Selama manggung aku memperhatikan reaksi penonton, mereka kok kelihatan terpana ya, atau malah gak tau mau ngapain liat aksi kami yang mirip acara debus.
Akhirnya selesai. Aku mengucapkan terima kasih terus langsung buru-buru turun sebelum ada yang sadar bahwa sang vokalis seharusnya dilempari batu sampai mati. Para penonton pun tepuk tangan, kayaknya sih setengah hati. Temanku ternyata ada yang merekam penampilan kami. Setelah kuliat, aku langsung menyarankan agar dihapus aja.
Tapi ternyata ada juga yang suka. Temanku iis, bilang kalau penampilan kami bagus (inilah yang membuatku curiga kalau dia itu sebenarnya agak tuli), Dimas juga bilang kami keren (belakangan aku baru tahu kalau dia gak suka korek kuping). Yang jelas, kami sendiri puas. Ini pengalaman berharga.
Sekarang, setiap aku mikirin saat-saat kami manggung, malamnya selalu mimpi buruk.
Selamat Datang! Saya berterima kasih atas kunjungan anda ke Blog saya. sering - sering mampir lagi di www.erlanda-boz.blogspot.com.
Test Widget
Sabtu, 05 Juni 2010
PENGALAMAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar